Anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang mengalami gangguan fisik, mental, sosial, dan emosional. Jumlah anak berkebutuhan khusus semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Jurnal Pediatrics, Agustus 2014 lalu, jumlah anak berkebutuhan khusus selama 10 tahun terakhir meningkat sebanyak 16 persen. Data ini bukan hanya terdiri dari dari anak-anak yang mengalami cacat fisik saja, melainkan juga anak-anak penderita difabilitas seperti anak-anak dengan ADHD (Attention Deficit and Hiperaktif Disorder) dan autism.
Dalam Infodatin Kemenkes RI 2014 dijelaskan bahwa penyandang difabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia, dimana 80 persen dari jumlah penyandang difabilitas berada di kalangan negara-negara berkembang dan anak-anak mengambil porsi sepertiga dari total penyandang difabilitas di dunia2 . Di Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia, jumlah anak berkebutuhan khusus ternyata cukup banyak. Namun secara umum, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa paling sedikit ada 10 persen anak usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5 – 14 tahun, ada sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika mengikuti perkiraan tersebut, maka diperkirakan ada kurang lebih 4,2 juta anak Indonesia yang berkebutuhan khusus.
Saat ini Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terus berupaya mensosialisasikan konsep pendidikan inklusif di seluruh wilayah. Beberapa wilayah sudah diwajibkan untuk pelaksanaannya seperti wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Di setiap sekolah dihimbau untuk melaksanakan konsep ini, bahkan khusus sekolah pemerintah, telah diwajibkan 20% kuota bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Fakta lainnya, keberadaan individu atau anak-anak berkebutuhan khusus, secara riil ada di sekolah umum tidak hanya ada di sekolah luar biasa. Semangat melayani ABK di sekolah ternyata tidak cukup menjawab tantangan para guru di sekolah.
Mereka dihadapkan berbagai permasalahan di saat mencoba menerapkan konsep pendidikan inklusif di sekolah. Di antara permasalahan yang ada, yakni; kesulitan mengidentifikasi ABK, ketidakpahaman menangani ABK di kelas, mendesain kurikulum yang sesuai, membuat sistem dan lingkungan belajar yang kondusif dan lain sebagainya.
Dari paparan tersebut SD Muhammadiyah 2 Sidoarjo mengadakan kegiatan dengan judul “Deteksi Dini Anak Berkebutuhan Khusus” yang berada dalam Forum KKG (Kelompok Kerja Guru) pada hari Jumat, 28 Januari 2022, yang mana kegiatan ini dilaksanakan pada pukul 13.00 – 15.00 dan diikuti oleh 61 peserta yaitu semua guru dan karyawan SDAMADA. Tujuan dan maksud kegiatan tersebut diharapkan kita mengetahui bagaimana ciri-ciri peserta didik berkebutuhan khusus tersebut dan bagaimana pula tindakan yang dapat kami lakukan untuk menangani anak-anak tersebut. Dalam kegiatan ini kami bekerjasama dengan PKBM Lentera Indonesia sebagai narasumber, yaitu Ibu Meri Krisna, S.Psi.
Selain itu workshop ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan pengelolaan pendidikan inklusi di Sekolah dan merumuskan model pengelolaan sekolah inklusi serta bagaimana pengajar mengetahui sejak dini peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Diharapkan dengan adanya workshop ini model pendidikan inklusi dapat berjalan optimal, jika organisasi sekolah memiliki badan khusus yang menangani hal yang berhubungan dengan inklusi. Hal ini dengan cara menambahkan divisi pendidikan khusus atau istilah lainnya yang serupa. (Rikha)
Leave us a Reply